Rabu, 08 Mei 2019

miskonsepsi dalam bimbingan dan konseling


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Miskonsepsi
1.      Pengertian Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep diartikan sebagai ide atau pengetahuan yang diabstraksikan dari peristiwa kongkret. Konsep merupakan kelas atau kategori stimulus (objek, peristiwa atau orang) yang memiliki ciri-ciri umum(Hamalik, 2004).
Berg (1991) mengungkapkan bahwa “Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut konsepsi”. Konsep juga diartikan sebagai abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan  manusia berfikir.
Menurut Bahri (2008) konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata (lambang bahasa). Selanjutnya menurut (Singarimbun & Effendi, 2009) konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama.” Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya.
Konsepsi diartikan sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal(Suparno, 2005). Dari uraian di atas, diperoleh pengertian bahwa konsepsi adalah sebuah interpretasi dan tafsiran perorangan pada suatu konsep ilmu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan dan melalui pendidikan formal.
2.      Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005). Novak (dalam Suparno, 2005)mendefenisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Andriana, Djudin & Arsyid, 2014). Pengetahuan awal yang dimiliki siswa seringkali tidak cocok dengan pengetahuan yang diterima oleh pakar dan menjadi suatu miskonsepsi (Suparno, 2005: 31). Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya (Sutrisno, Kresnadi, dan Kartono, 2007: 2.22).
Miskonsepsi adalah konsep yang tidak sesuai pengertian ilmiah atau pengertian dari pakar bidang tertentu karena terjadi kesalahan dalam penyampaian atau penerimaan suatu konsep (Desiria, 2017).
Adapun Brown (dalam Suparno, 2005) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefeisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Sedangkan Fowler (dalam Suparno, 2005) juga menjelaskan dengan lebih rinci arti miskonsepsi. Ia memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirearkis konsep-konsep yang tidak benar.
Dari beberapa teori di atas tergambarkan denganjelas bahwa miskonsepsi adalah sebuah interpretasi, pandangan naif dan defenisi yang tidak akurat terhadap suatu konsep yang tidak dapat dterima karena bertentangan dengan pengertian ilmiah.
3.      Mengapa dikatakan miskonsepsi?
Miskonsepsi terjadi karena kesalahan yang dilakukan seseorang dalam membangun konsepsi berdasarkan informasi lingkungan fisik disekitarnya atau teori yang diterima (Desiria, 2017). Selanjutnya, Salah satu penyebab miskonsepsi adalah anak cenderung memahami kejadian bagian per bagian dan cenderung tidak mengaitkan satu bagian dengan bagian lainnya (Mujadi, dalam Andriana, Djudin & Arsyid, 2014).
Dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut-larut (Ridwan, 2011).

B.     Faktor Penyebab Miskonsepsi
Beberapa faktor penyebab lahirnya miskonsepsi seperti yang dijelaskan oleh Suparno (2005) adalah sebagai berikut:
1.      Faktor siswa yang memiliki masalah pada prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan kognitif, kemampuan siswa dan minat belajarnya
2.      Faktor pengajar yang tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu tertentu, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, dan relasi guru dengan siswa yang tidak baik
3.      Faktor buku teks. Terdapat banyak buku yang penjelasannya salah, salah tulis terutama dalam rumus, tingkat penulisan buku terlalu tinggi untuk siswa, buku fiksi dan kartun sains yang sering salah konsep karena alasan menariknya yang perlu.
4.      Faktor Konteks. Konteks hidup yang sering menjadi penyebab antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi yang salah keyakinan dan agama, penjelasan orang tua/orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv, radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang dan perasaan bebas atau tertekan.
5.      Faktor cara mengajar yang kadang kala hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke dalam bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak mengoreksi PR, model analogi yang dipakai kurang tepat tepat, model demonstrasi sempit dan lain-lain

C.    Miskonsepsi Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut (Basuki, 2010). Masalah menggejala diantaranya:
1.      Konselor sekolah dianggap polisi sekolah,
2.      BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat,
3.      BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”.
4.      BK bekerja sendiri,
5.      Konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif,
6.      Adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja,
7.      Menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat,
8.      Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Di samping kelemahan mutu layanan, tak jarang dijumpai praktik-praktik bantuan yang menyimpang dari pengertian dan asas profesi ini sebagai bentuk layanan kemanusiaan, bahkan kadang-kadang dijumpai terjadi malapraktek ( Munandir, 1996; Prayitno, 2004). Selanjutnya, Beberapa miskonsepsi BK (Suryono, 2016) antara lain:
1.    Layanan bimbingan dan konseling hanya bagi siswa yang bermasalah.
Sampai saat sekarang ini masih tumbuh asumsi di sekolah bahwa layanan bimbingan dan konseling itu hanya diperuntukkan kepada mereka yang bermasalah atau ekstrimnya ”nakal”. Siswa yang tidak bermasalah atau berkategori ”baik-baik saja” tidak perlu diberikan layanan tersebut.
2.    Konseling ditujukan untuk mendisiplinkan siswa.
Miskonsepsi ini hampirhampir sulit dihilangkan karena sedemikian rupa kesalahkaprahan praktik yang terjadi di sekolah lalu memunculkan ”polisi sekolah” kepada para konselor. Layanan konseling seharusnya adalah sesuatu yang diperlukan, justru akhirnya menjadi sesuatu yang tidak disukai bahkan menakutkan.
3.    Konseling adalah pemberian nasihat.
Padahal secara teoritik jelas bahwa tujuan konseling adalah memandirikan klien termasuk ketika mengambil keputusan. Ada dugaan bahwa ”jalan pintas” berupa pemberian nasihat itu dilakukan dengan alasan pragmatis sekaligus memperlihatkan betapa kelemahan kompetensi konselor. Konselor kita yang bekerja di setting sekolah.
4.    Semua pendidik di sekolah dapat menjadi konselor.
Secara sistemik bimbingan dan konseling adalah komponen integral dari proses pendidikan formal di sekolah. Namun demikian bukan berarti bahwa semua yang tergolong sebagai tenaga kependidikan termasuk guru di sekolah dapat menjadi konselor. Kenyataan dewasa ini banyak sekali fenomena di sekolah, karena alasan ketiadaan tenaga, personil tenaga pendidik ditunjuk sebagai pelaksana pemberian layanan konseling.
5.    Konseling dilakukan manakala diperlukan saja.
Anggapan keliru ini masih saja terjadi di sekolah. Semestinya konseling adalah sesuatu kegiatan yang terkelola dan mengacu pada tahapan menajemen yaitu : perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan supervisi dan tindak lanjut program.

D.    Temuan-Temuan Miskonsepsi dalam BK
1.      Konsep Bimbingan dan Konseling
a.       Sejarah Perkembangan Konsep
Perkembangan konsep mengenai konseling terus mengalami perkembangan baik di dalam negeri maupun di luar negri. Miller (dalam Prayitno & Erman Amti, 2004) meringkaskan perkembangan Bimbingan dan Konseling ke dalam lima periode.
1)      Periode Parsonian dengan orientasi bimbingan jabatan/karir
2)      Menekankan pada bimbingan yang dikaitkan dengan pendidikan
3)      Menekankan pelayanan untuk penyesuaian diri, yaitu membantu individu untuk menyesuaikan diri terhadap dirinya sendiri, lingkungan dan masyarakat. Pada periode ketiga ini istilah konseling dimunculkan.
4)      Mementingkan proses perkembangan individu.
5)      Adanya gejala perkembangan yang menuju ke dua arah, yaitu: arah kembali ke periode pertama, dan arah ke rekonstruksi sosial serta personal.


b.      Definisi Konsep-konsep
Di Indonesia sendiri awalnya dikenal dengan istilah penyuluhan kemudian berubah menjadi konseling. Berikut akan penulis paparkan makna/definisi dari bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling merupakan 2 istilah yang tidak dapat dipisahkan. Penggabungan 2 istilah inilah yang diterapkan dalam pelaksanaannya baik di settting pendidikan atau di luar setting pendidikan.
1)      Pengertian Bimbingan
Dalam setiap proses kehidupan, istilah bimbingan pasti sering digunakan. Orang tua mengajarkan kita untuk menjadi anak yang penurut, itu merupakan bimbingan. Orang tua mengajarkan kita untuk menjadi anak yang sopan kepada orang lain, itu juga merupakan bimbingan. Begitu juga halnya di masyarakat. Masyarakat mengajarkan kita untuk bertindak dengan baik, itu merupakan bimbingan masyarakat kepada seseorang. Semua bimbingan dilakukan agar dapat terbentuk sebuah perilaku yang diharapkan. Yang kesemuanya diinginkan adalah hal yang postif.
Frank Parson yang merupakan pendiri vocational guidance, telah menggunakan istilah bimbingan. Pada waktu itu bimbingan diarahkan dalam bidang karir atau pekerjaan. Bimbingan yang diberikan kepada orang ditujukan agar orang tersebut dapat mempersiapkan diri dalam memangku sebuah jabatan atau pekerjaan. Tentunya hal ini sangat dibutuhkan. Mengingat masih banyak orang-orang yang tidak mengetahui di mana letak kemampuannya, minat, kelebihan dan keterbatasan, sehingga dalam pemilihan pekerjaan seringkali tidak tepat atau sesuai.
Jika Parson hanya membatasi bimbingan pada bidang karir/pekerjaan, maka definisi yang berbeda diberikan oleh Mortensen & Schmuller (dalam Prayitno, 2004) “Bimbingan sebagai bagian dari sekeluruhan proses pendidikan yang membantu menyediakan kesempatan-kesempatan pribadi dan layanan staf ahli dengan cara mana setiap individu dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan dan kesanggupannya sepenuh-penuhnya seseuai dengan ide-ide demokrasi”.
Menurut Prayitno (2004) bimbingan merupakan proses pemberian yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinyanya sendiri dengan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikebangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2)      Pengertian Konseling
Istilah Konseling yang kita gunakan di Indonesia, merupakan adaptasi dari bahasa Inggris yakni counseling. Secara makna dalam kamus istilah counseling bermakna nasihat. Namun secara makna yang lebih luas, istilah konseling tidak terbatas pada nasihat saja. Nasihat merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam konseling di antara teknik-teknik lain. Banyak ahli yang memberikan definisi yang berbeda mengenai konseling.
Menurut Milton E Hahn (dalam Sofyan S Willis, 2009) “Konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seorang individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seseong petugas professional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya”. Menurut Prayitno (2004) konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang yang ahli disebut dengan konselor kepada individu yang mengalami masalah yang disebut dengan klien yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
c.       PenggunaanIstilah yang Digunakan Sekarang
Belkin (dalamPrayitno, 2013), secara tegas menolak hal-hal yang mengecilkan makna konseling. Ia mengusulkan, daripada meletakkan konseling sebagai bagian dari bimbingan, atau meletakkan keduanya menjadi bimbingan dan konseling yang sederajat dan keduanya memiliki bagiannya masing-masing, lebih baik membangun satu istilah, yaitu konseling saja, yang meliputi juga segala sesuatu yang selama ini disebutkan sebagai bimbingan. Seluruh pengertian bimbingan dilebur ke dalam konseling. Istilah bimbingan tidak dipakai lagi. Demikian juga Erford (dalamPrayitno, 2013), yang sebagaimana Belkin menggunakan istilah konseling yang menekankan pentingnya konseling dalam setting persekolahan.
Gladding (dalam Prayitno, 2013), merumuskan bahwa Konseling adalah kegiatan yang relatif singkat yang bersifat interpersonal,  berbasis teori dan merupakan kegiatan profesional berdasarkan standar etis dan legal, terfokus pada membantu orang-orang yang pada dasarnya sehat secara psikologi, untuk menyelesaikan permasalahan perilakunya dan kondisi kehidupan yang dihadapi.
Menurut Prayitno (2013) konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seorang atau sekelompok individu untuk penegembangan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus pribadi mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses pembelajaran.
d.      Kesalahpahaman Memaknai Bimbingan dan Konseling
Di Indonesia, bimbingan dan konseling masih tergolong baru. Sehingga muncul kesalahpahaman tentang bimbingan dan konseling di berbagai pihak. Prayitno dan Erman Amti (2004), kesalahpahaman yang sering dijumpai di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
1)      Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Pelaksanaaan bimbingan dan konseling di sekolah disamakan saja dengan penyelenggaraan pendidikan. Pendapat ini menganggap bahwa sekolah tidak perlu melaksanakan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari usaha pendidikan. Pendapat ini cenderung terlalu mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan serta tidak melihat sama sekali pentingnya bimbingan dan konseling.  Pelayanan bimbingan dan konseling dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan BK itu harusnya dibedakan dari praktek pendidikan. Inilah salah satu kesalahpahaman BK di Indonesia.
Pelayanan BK bukanlah pelayananyang mewah. Untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu menguasai keterampilan dasar, baik keterampilan pribadi, dalam memberikan konseling, pemberian informasi pendidikan dan jabatan, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan dalam penyusunan program BK di sekolah.
2)      Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih banyak anggapan bahwa peran konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan barangsiapa di antara siswa-siswa melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian atau pencurian.
Berdsarkan pandangan diatas, wajarlah siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah, atau label-label  negatif lainnya.
3)      Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir secara optimal. Disamping memerlukan nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain, seperti pelayanan informasi, penempatan dan penyaluran, dan lain sebagainya.
4)      Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat insidental.
Pelayanan bimbingan dan konseling sering kali bertitik tolak dari masalah yang dirasakan klien sekarang, yang sifatnya dadakan.
5)      Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien tertentu saja.
Pelayanan konseling bukan hanya untuk orang tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenap individu ataupun kelompok yang memerlukannya.


6)      Bimbingan dan konseling melayani orang sakit atau kurang normal.
Konseling tidak melayani orang sakit atau kurang normal akan tetapi konseling itu melayani orang sehat dan normal.
7)      Bimbingan dan konseling bekerja sendiri .
Pelayanan konseling tidak mungkin dilaksanakan secara menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang yang diharapkan bisa membantu penanggulangan masalah yang dihadapi oleh siswa.
8)      Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Agar pelaksanaan pelayanan konseling berjalan dengan efektif haruslah ada kerjasama antara pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, wali kelas, orang tua, guru bidang studi dan sebagainya. Jika pelayanan konseling hanya dibebankan saja kepada konselor, maka pelayanan BK di sekolah akan tersendat-sendat atau bahkan tidak berjalan sama sekali. 
9)      Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Pelayanan BK dianggap bisa dilakukan oleh guru bidang studi, psikolog, psikoterapi dan siapa saja bisa melaksanakan pelayanan BK. Pelaksanaan BK bukanlah hal yang mudah dilakukan, oleh karena itu BK bisa dilaksanakan oleh konselor atau guru BK yang ahli dan terampil.
10)  Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Usaha pelayanan haruslah dipusatkan pada masalah yang sebenarnya. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien. Konselor harus menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenar-benarnya.
11)  Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater
Pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah sama persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Baik dokter ataupun psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah. Cara penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan psikiater adalah dengan pemberian obat sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental, penguatan tingkah laku, serta menggunakan teknik-teknik konseling lainnya.
12)  Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat
Pekerjaan bimbingan dan konseling bukanlah pekerjaaan yang begitu cepat dapat dilihat hasilnya. Perlu waktu yang lama untuk melihat hasil pelayanan bimbingan dan konseling terutama pelayanan konseling individual yang betujuan untuk mengentaskan masalah siswa dan mengembangkan potensinya serta perubahan tingkah laku pada diri klien.
13)  Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Masalah klien tidak bisa disamaratakan pemecahannya. Terkadang ada permasalahan yang dialami sama namun setelah dikaji lebih dalam ternyata hakikatnya berbeda. Oleh karena itu, teknik yang digunakan dalam konseling pun akan berbeda pula.
14)  Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling .
Instrumentasi dalam BK hanyalah sebagai pembantu dalam menemukan permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Setelah penggunaan instrumentasi BK tersebut, konselor mendapatkan data tentang pribadi individu dan dapat membantu dalam proses konseling yang akan dilaksanakan.
15)  Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah ringan saja
Menetapkan sesuatu masalah berat atau ringan tidaklah mudah. Suatu masalah mungkin tampaknya ringan, tetapi setelah dikaji dan diungkapkan berbagai sangkut-pautnya ternyata adalah berat.
2.      Pola pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Zamroni & Rahardjo (2015)dalam jurnalnya menjelaskan bentuk miskonsepsi terkait dengan pola pelayanan BK disekolah yang dijabarkan sebagai berikut.
Bimbingan dan konseling memiliki konsep dan peran yang ideal, karena dengan berfungsinya bimbingan dan konseling secara optimal semua kebutuhan dan permasalahan siswa di sekolah akan dapat ditangani dengan baik. Suatu program pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak mungkin akan tersusun, terselenggara dan tercapai apabla tidak dikelola dalam suatu sistem manajemen yang bermutu.
Manajemen bimbingan dan konseling yang terarah dan sistematis merupakan manifestasi dan akumulasi pelayanan bimbingan dan konseling sehingga merupakan salah satu indikator kerja konselor. Selanjutnya dengan manajemen bimbingan dan konseling yang sistematis dan terarah yang baik pada gilirannya akan memberikan panduan pelaksanaan kegiatan bimbingan konseling sekaligus menghilangkan kesan bahwa konselor bekerja secara insidental dan bersifat kuratif semata-mata
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif danmiskonsepsi berlarut-larut.
Masalah menggejala di antaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Bimbingan dan Konseling pada Jalur Pendidikan Dasar dan Menengah, memberikan pandangan baru tentang arah manajemen bimbingan dan konseling. Diadopsinyya pola pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif yang dipadu padankan dengan pola 17 plus yang telah lama berjalan di lapangan membuat beberapa pihak gamang untuk menjalankan “pola yang mana”. Dalam sebuah pertemuan ilmiah, Dewan Pembina ABKIN Prof. Dr. Prayitno, M.Sc. Ed., menegaskan bahwa konselor di lapangan tidak perlu bingung dan gamang mau menggunakan yang mana, yang terpenting mana yangdikuasai dan paling sesuai dengan kondisi lapangan itulah manajemen bimbingan dan konseling yang baik. Meskipun demikian, sebagai sebuah upaya pembaharuan paradigma pelayanan bimbingan dan konseling, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 telah menggariskan pola layanan sebagai acuan pemberian layanan dan administrasi bimbingan dan konseling di sekolah.

3.      Peranan Konselor di Sekolah
Cahyono (2013)dalam jurnalnya menjelaskan bentuk miskonsepsi terkait dengan pola pelayanan BK disekolah yang dijabarkan sebagai berikut.
Keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah hingga sekarang sudah berusia 50 tahun. Dan banyak perubaha-perubahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Sedangkan kenyataan di lapangan menyatakan bahwa kebanyakan siswa menganggap keberadaan Bimbingan dan Konseling tidak diperlukan. siswa lebih nyaman bercerita kepada teman sebaya jika ada masalah. Dan selama ini siswa masih beranggapan bahwa konselor sekolah adalah polisi sekolah. Karena masih banyak sekolah yang meletakkan konselor sebagai petugas tatib, konselor ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Hal tersebut menyebabkan siswa enggan untuk datang ke ruangan BK secara sukarela.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prayitno dan Amti (2004) bahwa masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Bahkan mungkin mereka mengira bahwa ketika seseorang masuk ke ruangan BK itu dianggap mempunyai masalah serius disekolah, seperti anak yang nilai akademiknya dibawah rata-rata, bermasalah dalam penampilan atau seragam sekolah, cenderung anak yang badung, anak yang jarang masuk sekolah, dan anggapan lainnya yang bernada negatif, sehingga otomatis adanya guru BK itu dikenal sebagai orang yang berhak meluruskan anak- anak yang mempunyai perilaku negatif, dan tidak dikenal sebagai sosok yang dapat membimbing serta melayani anak didik dengan tanpa ada asumsi bahwa individu yang di bimbing itu melakukan tindakan yang dianggap negatif. Maka mindsetmereka terhadap Bimbingan Konseling cenderung negatif. Hal tersebut bisa mempengaruhi pada minat siswa dalam memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.





























DAFTAR PUSTAKA

Andriana, E., Djudin, T., & Arsyid, S. B. (2014). Remediasi Miskonsepsi Pembiasan Cahaya pada Lensa Tipis Menggunakan Direct Instruction Berbantuan Animasi Flash Sma. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran3(1).

Bahri. 2008. Konsep dan DefinisiKonseptual. Jakarta: PTRajaGrafindo Persada.

Basuki, A. (2010). LANDASAN HISTORIS BIMBINGAN DAN KONSELING.

Berg, E. Van Den. (1991). Miskonsepsi fisika dan remediasi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Cahyono, A. H. (2013). Hubungan antara Persepsi dan Sikap Siswa terhadap Bimbingan dan Konseling dengan Minat Siswa untuk Memanfaatkan Layanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal BK UNESA, 1(1).

Desiria, A. (2017). Analisis Miskonsepsi Materi Asam-Basa Siswa SMA/MA dengan Menggunakan Instrumen Tes Diagnostik Two Tier(Bachelor's thesis, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Hamalik, O. (2004). Proses belajar mengajar. Bumi Aksara.

Lestari, P. A. S., Rahayu, S., & Hikmawati, H. (2017). Profil Miskonsepsi Siswa Kelas X SMKN 4 Mataram pada Materi Pokok Suhu, Kalor, dan Perpindahan Kalor. Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi1(3), 146-

Prayitno. 2004. PengembanganProfesional Guru Pembimbing
(Bahan Diklat), Jakarta: PPPG Keguruan Jakarta.

Prayitno. (2013). “Integrasi Konseling Menyeluruh ke dalam Pendidikan”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional KONSELING MALINDO-3 di Universitas Muhammadiyah Magelang

Ridwan, R. (2011). Pengembangan Manajemen Jejaring Bimbingan dan Konseling (MJBK) Berbasis Analisis Kebutuhan. Educatio6(1), 38-52.

Singarimbun, M., & Effendi, S. (1989). Metode Penelitian Survei, LP3ES. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Suparno, P. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta: PT. Grasindo.

Suryono, B. (2016). Public Trust dan Profesi BK Bermartabat Menuju Karakter Konselor yang Dibutuhkan. Counsellia: Jurnal Bimbingan dan Konseling2(1).

Sutrisno, Kresnadi, dan Kartono. 2007. Pengembangan Pembelajaran IPA SD.
Pontianak: LPJJ PGSD.

Willis, Sofyan S. (2009). Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta

Zamroni, E., & Rahardjo, S. (2015). Manajemen Bimbingan Dan Konseling Berbasis Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014. Jurnal Konseling Gusjigang, 1(1).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

miskonsepsi dalam bimbingan dan konseling

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Miskonsepsi 1.       Pengertian Konsep Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep diartikan ...