BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Miskonsepsi
1. Pengertian
Konsep
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, konsep diartikan sebagai ide atau pengetahuan yang
diabstraksikan dari peristiwa kongkret. Konsep merupakan kelas atau kategori
stimulus (objek, peristiwa atau orang) yang memiliki ciri-ciri umum(Hamalik, 2004).
Berg (1991) mengungkapkan
bahwa “Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut konsepsi”. Konsep juga
diartikan sebagai abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi
antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir.
Menurut Bahri
(2008) konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai
ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap
objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu.
Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental
tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata
(lambang bahasa). Selanjutnya menurut (Singarimbun & Effendi, 2009) konsep adalah generalisasi dari
sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai
fenomena yang sama.” Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu
hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat
menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya.
Konsepsi diartikan
sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal(Suparno, 2005). Dari uraian di
atas, diperoleh pengertian bahwa konsepsi adalah sebuah interpretasi dan
tafsiran perorangan pada suatu konsep ilmu yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan dan melalui pendidikan formal.
2. Pengertian
Miskonsepsi
Miskonsepsi atau
salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk
miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar
antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005). Novak (dalam Suparno, 2005)mendefenisikan
miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan
yang tidak dapat diterima.
Miskonsepsi adalah suatu
konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Andriana, Djudin & Arsyid, 2014).
Pengetahuan awal yang dimiliki siswa seringkali tidak cocok dengan pengetahuan
yang diterima oleh pakar dan menjadi suatu miskonsepsi (Suparno, 2005: 31).
Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di
luar bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya (Sutrisno, Kresnadi, dan
Kartono, 2007: 2.22).
Miskonsepsi adalah konsep
yang tidak sesuai pengertian ilmiah atau pengertian dari pakar bidang tertentu
karena terjadi kesalahan dalam penyampaian atau penerimaan suatu konsep (Desiria, 2017).
Adapun Brown (dalam Suparno, 2005) menjelaskan miskonsepsi
sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefeisikannya sebagai suatu gagasan
yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Sedangkan
Fowler (dalam Suparno, 2005) juga menjelaskan
dengan lebih rinci arti miskonsepsi. Ia memandang miskonsepsi sebagai
pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah,
klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan
hubungan hirearkis konsep-konsep yang tidak benar.
Dari beberapa
teori di atas tergambarkan denganjelas bahwa miskonsepsi adalah sebuah
interpretasi, pandangan naif dan defenisi yang tidak akurat terhadap suatu
konsep yang tidak dapat dterima karena bertentangan dengan pengertian ilmiah.
3. Mengapa
dikatakan miskonsepsi?
Miskonsepsi terjadi karena kesalahan yang dilakukan seseorang
dalam membangun konsepsi berdasarkan informasi lingkungan fisik disekitarnya
atau teori yang diterima (Desiria, 2017). Selanjutnya, Salah
satu penyebab miskonsepsi adalah anak cenderung memahami kejadian bagian per
bagian dan cenderung tidak mengaitkan satu bagian dengan bagian lainnya
(Mujadi, dalam Andriana, Djudin & Arsyid,
2014).
Dalam
pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang
tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya
citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap
pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai
kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga
terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut-larut (Ridwan, 2011).
B.
Faktor
Penyebab Miskonsepsi
Beberapa faktor
penyebab lahirnya miskonsepsi seperti yang dijelaskan oleh Suparno (2005) adalah sebagai
berikut:
1. Faktor
siswa yang memiliki masalah pada prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran
humanistik, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan
kognitif, kemampuan siswa dan minat belajarnya
2. Faktor
pengajar yang tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu tertentu,
tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, dan relasi guru dengan siswa
yang tidak baik
3. Faktor
buku teks. Terdapat banyak buku yang penjelasannya salah, salah tulis terutama
dalam rumus, tingkat penulisan buku terlalu tinggi untuk siswa, buku fiksi dan
kartun sains yang sering salah konsep karena alasan menariknya yang perlu.
4. Faktor
Konteks. Konteks hidup yang sering menjadi penyebab antara lain pengalaman
siswa, bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi yang salah keyakinan dan
agama, penjelasan orang tua/orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv,
radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang dan perasaan bebas atau
tertekan.
5. Faktor
cara mengajar yang kadang kala hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke
dalam bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak mengoreksi PR,
model analogi yang dipakai kurang tepat tepat, model demonstrasi sempit dan
lain-lain
C.
Miskonsepsi
Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak
jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan
konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya
persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai
wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman,
persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut (Basuki, 2010). Masalah menggejala
diantaranya:
1.
Konselor sekolah dianggap polisi sekolah,
2.
BK dianggap semata-mata sebagai pemberian
nasehat,
3.
BK dibatasi pada menangani masalah yang
insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang
sakit” dan atau ”kurang normal”.
4.
BK bekerja sendiri,
5.
Konselor sekolah harus aktif sementara pihak
lain pasif,
6.
Adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat
dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja,
7.
Menganggap hasil pekerjaan BK harus segera
dilihat,
8.
Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi
semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes,
inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani
masalah-masalah yang ringan saja.
Di
samping kelemahan mutu layanan, tak jarang dijumpai praktik-praktik bantuan
yang menyimpang dari pengertian dan asas profesi ini sebagai bentuk layanan
kemanusiaan, bahkan kadang-kadang dijumpai terjadi malapraktek ( Munandir,
1996; Prayitno, 2004). Selanjutnya, Beberapa miskonsepsi BK (Suryono, 2016)
antara lain:
1. Layanan
bimbingan dan konseling hanya bagi siswa yang bermasalah.
Sampai
saat sekarang ini masih tumbuh asumsi di sekolah bahwa layanan bimbingan dan
konseling itu hanya diperuntukkan kepada mereka yang bermasalah atau ekstrimnya
”nakal”. Siswa yang tidak bermasalah atau berkategori ”baik-baik saja” tidak
perlu diberikan layanan tersebut.
2. Konseling
ditujukan untuk mendisiplinkan siswa.
Miskonsepsi
ini hampirhampir sulit dihilangkan karena sedemikian rupa kesalahkaprahan
praktik yang terjadi di sekolah lalu memunculkan ”polisi sekolah” kepada para
konselor. Layanan konseling seharusnya adalah sesuatu yang diperlukan, justru
akhirnya menjadi sesuatu yang tidak disukai bahkan menakutkan.
3. Konseling
adalah pemberian nasihat.
Padahal
secara teoritik jelas bahwa tujuan konseling adalah memandirikan klien termasuk
ketika mengambil keputusan. Ada dugaan bahwa ”jalan pintas” berupa pemberian
nasihat itu dilakukan dengan alasan pragmatis sekaligus memperlihatkan betapa
kelemahan kompetensi konselor. Konselor kita yang bekerja di setting sekolah.
4. Semua
pendidik di sekolah dapat menjadi konselor.
Secara
sistemik bimbingan dan konseling adalah komponen integral dari proses
pendidikan formal di sekolah. Namun demikian bukan berarti bahwa semua yang
tergolong sebagai tenaga kependidikan termasuk guru di sekolah dapat menjadi
konselor. Kenyataan dewasa ini banyak sekali fenomena di sekolah, karena alasan
ketiadaan tenaga, personil tenaga pendidik ditunjuk sebagai pelaksana pemberian
layanan konseling.
5. Konseling
dilakukan manakala diperlukan saja.
Anggapan
keliru ini masih saja terjadi di sekolah. Semestinya konseling adalah sesuatu
kegiatan yang terkelola dan mengacu pada tahapan menajemen yaitu : perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan supervisi dan tindak lanjut program.
D.
Temuan-Temuan
Miskonsepsi dalam BK
1.
Konsep
Bimbingan dan Konseling
a. Sejarah
Perkembangan Konsep
Perkembangan
konsep mengenai konseling terus mengalami perkembangan baik di dalam negeri
maupun di luar negri. Miller (dalam Prayitno & Erman Amti, 2004) meringkaskan
perkembangan Bimbingan dan Konseling ke dalam lima periode.
1)
Periode Parsonian dengan orientasi
bimbingan jabatan/karir
2)
Menekankan pada bimbingan yang dikaitkan
dengan pendidikan
3)
Menekankan pelayanan untuk penyesuaian
diri, yaitu membantu individu untuk menyesuaikan diri terhadap dirinya sendiri,
lingkungan dan masyarakat. Pada periode ketiga ini istilah konseling dimunculkan.
4)
Mementingkan proses perkembangan
individu.
5)
Adanya gejala perkembangan yang menuju
ke dua arah, yaitu: arah kembali ke periode pertama, dan arah ke rekonstruksi
sosial serta personal.
b. Definisi
Konsep-konsep
Di Indonesia
sendiri awalnya dikenal dengan istilah penyuluhan kemudian berubah menjadi
konseling. Berikut akan penulis paparkan makna/definisi dari bimbingan dan
konseling. Bimbingan dan Konseling merupakan 2 istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Penggabungan 2 istilah inilah yang diterapkan dalam pelaksanaannya
baik di settting pendidikan atau di luar setting pendidikan.
1) Pengertian
Bimbingan
Dalam
setiap proses kehidupan, istilah bimbingan pasti sering digunakan. Orang tua
mengajarkan kita untuk menjadi anak yang penurut, itu merupakan bimbingan.
Orang tua mengajarkan kita untuk menjadi anak yang sopan kepada orang lain, itu
juga merupakan bimbingan. Begitu juga halnya di masyarakat. Masyarakat
mengajarkan kita untuk bertindak dengan baik, itu merupakan bimbingan
masyarakat kepada seseorang. Semua bimbingan dilakukan agar dapat terbentuk
sebuah perilaku yang diharapkan. Yang kesemuanya diinginkan adalah hal yang
postif.
Frank
Parson yang merupakan pendiri vocational
guidance, telah menggunakan istilah bimbingan. Pada waktu itu bimbingan
diarahkan dalam bidang karir atau pekerjaan. Bimbingan yang diberikan kepada
orang ditujukan agar orang tersebut dapat mempersiapkan diri dalam memangku
sebuah jabatan atau pekerjaan. Tentunya hal ini sangat dibutuhkan. Mengingat
masih banyak orang-orang yang tidak mengetahui di mana letak kemampuannya,
minat, kelebihan dan keterbatasan, sehingga dalam pemilihan pekerjaan
seringkali tidak tepat atau sesuai.
Jika
Parson hanya membatasi bimbingan pada bidang karir/pekerjaan, maka definisi
yang berbeda diberikan oleh Mortensen & Schmuller (dalam Prayitno, 2004) “Bimbingan
sebagai bagian dari sekeluruhan proses pendidikan yang membantu menyediakan
kesempatan-kesempatan pribadi dan layanan staf ahli dengan cara mana setiap
individu dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan dan kesanggupannya
sepenuh-penuhnya seseuai dengan ide-ide demokrasi”.
Menurut
Prayitno (2004) bimbingan merupakan proses pemberian yang dilakukan oleh orang
yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja, maupun
dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinyanya
sendiri dengan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang
ada dan dapat dikebangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2) Pengertian
Konseling
Istilah
Konseling yang kita gunakan di Indonesia, merupakan adaptasi dari bahasa
Inggris yakni counseling. Secara
makna dalam kamus istilah counseling
bermakna nasihat. Namun secara makna yang lebih luas, istilah konseling tidak
terbatas pada nasihat saja. Nasihat merupakan salah satu teknik yang digunakan
dalam konseling di antara teknik-teknik lain. Banyak ahli yang memberikan
definisi yang berbeda mengenai konseling.
Menurut
Milton E Hahn (dalam Sofyan S Willis, 2009) “Konseling adalah suatu proses yang
terjadi dalam hubungan seseorang dengan seorang individu yang mengalami masalah
yang tak dapat diatasinya, dengan seseong petugas professional yang telah
memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan
kesulitannya”. Menurut Prayitno (2004) konseling adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang yang ahli
disebut dengan konselor kepada individu yang mengalami masalah yang disebut
dengan klien yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
c. PenggunaanIstilah
yang Digunakan Sekarang
Belkin (dalamPrayitno, 2013), secara tegas menolak hal-hal yang
mengecilkan makna konseling. Ia mengusulkan, daripada meletakkan konseling
sebagai bagian dari bimbingan, atau meletakkan keduanya menjadi bimbingan dan
konseling yang sederajat dan keduanya memiliki bagiannya masing-masing, lebih
baik membangun satu istilah, yaitu konseling
saja, yang meliputi juga segala sesuatu yang selama ini disebutkan sebagai
bimbingan. Seluruh pengertian bimbingan dilebur ke dalam konseling. Istilah
bimbingan tidak dipakai lagi. Demikian juga Erford (dalamPrayitno, 2013), yang sebagaimana
Belkin menggunakan istilah konseling yang menekankan pentingnya konseling dalam
setting persekolahan.
Gladding (dalam Prayitno, 2013), merumuskan bahwa Konseling adalah
kegiatan yang relatif singkat yang bersifat interpersonal, berbasis teori dan merupakan kegiatan
profesional berdasarkan standar etis dan legal, terfokus pada membantu
orang-orang yang pada dasarnya sehat secara psikologi, untuk menyelesaikan
permasalahan perilakunya dan kondisi kehidupan yang dihadapi.
Menurut Prayitno
(2013) konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada
seorang atau sekelompok individu untuk penegembangan kehidupan efektif
sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan
fokus pribadi mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses pembelajaran.
d. Kesalahpahaman
Memaknai Bimbingan dan Konseling
Di Indonesia,
bimbingan dan konseling masih tergolong baru. Sehingga muncul kesalahpahaman
tentang bimbingan dan konseling di berbagai pihak. Prayitno dan Erman Amti
(2004), kesalahpahaman yang sering dijumpai di lapangan antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Bimbingan
dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari
pendidikan.
Pelaksanaaan
bimbingan dan konseling di sekolah disamakan saja dengan penyelenggaraan
pendidikan. Pendapat ini menganggap bahwa sekolah tidak perlu melaksanakan
bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Mantapkan saja pengajaran
sebagai pelaksanaan nyata dari usaha pendidikan. Pendapat ini cenderung terlalu
mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan serta
tidak melihat sama sekali pentingnya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling
dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli dengan
perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat.
Pelayanan BK itu harusnya dibedakan dari praktek pendidikan. Inilah salah satu
kesalahpahaman BK di Indonesia.
Pelayanan BK
bukanlah pelayananyang mewah. Untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu
menguasai keterampilan dasar, baik keterampilan pribadi, dalam memberikan
konseling, pemberian informasi pendidikan dan jabatan, kemampuan berkomunikasi
dan kemampuan dalam penyusunan program BK di sekolah.
2) Konselor
di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih banyak
anggapan bahwa peran konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang
harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah.
Anggapan ini mengatakan barangsiapa di antara siswa-siswa melanggar peraturan
dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor. Tidak jarang pula
konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian atau pencurian.
Berdsarkan
pandangan diatas, wajarlah siswa tidak mau datang kepada konselor karena
menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia
mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah
berbuat salah, atau label-label negatif
lainnya.
3) Bimbingan
dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat
Bimbingan dan
konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat
hanya merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling.
Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam
rangka pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir secara optimal.
Disamping memerlukan nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang
dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain, seperti pelayanan informasi,
penempatan dan penyaluran, dan lain sebagainya.
4) Bimbingan
dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat insidental.
Pelayanan
bimbingan dan konseling sering kali bertitik tolak dari masalah yang dirasakan
klien sekarang, yang sifatnya dadakan.
5) Bimbingan
dan konseling dibatasi hanya untuk klien tertentu saja.
Pelayanan
konseling bukan hanya untuk orang tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenap
individu ataupun kelompok yang memerlukannya.
6) Bimbingan
dan konseling melayani orang sakit atau kurang normal.
Konseling tidak
melayani orang sakit atau kurang normal akan tetapi konseling itu melayani
orang sehat dan normal.
7) Bimbingan
dan konseling bekerja sendiri .
Pelayanan
konseling tidak mungkin dilaksanakan secara menyendiri. Konselor perlu bekerja
sama dengan orang yang diharapkan bisa membantu penanggulangan masalah yang
dihadapi oleh siswa.
8) Konselor
harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Agar pelaksanaan
pelayanan konseling berjalan dengan efektif haruslah ada kerjasama antara
pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, wali kelas, orang tua, guru bidang
studi dan sebagainya. Jika pelayanan konseling hanya dibebankan saja kepada
konselor, maka pelayanan BK di sekolah akan tersendat-sendat atau bahkan tidak
berjalan sama sekali.
9) Menganggap
pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Pelayanan BK
dianggap bisa dilakukan oleh guru bidang studi, psikolog, psikoterapi dan siapa
saja bisa melaksanakan pelayanan BK. Pelaksanaan BK bukanlah hal yang mudah
dilakukan, oleh karena itu BK bisa dilaksanakan oleh konselor atau guru BK yang
ahli dan terampil.
10) Pelayanan
bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Usaha pelayanan
haruslah dipusatkan pada masalah yang sebenarnya. Konselor tidak boleh terpukau
oleh keluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien. Konselor harus
menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenar-benarnya.
11) Menyamakan
pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater
Pekerjaan
bimbingan dan konseling tidaklah sama persis sama dengan pekerjaan dokter atau
psikiater. Baik dokter ataupun psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan
konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah. Cara
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan psikiater adalah dengan pemberian
obat sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah
melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental, penguatan tingkah laku,
serta menggunakan teknik-teknik konseling lainnya.
12) Menganggap
hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat
Pekerjaan
bimbingan dan konseling bukanlah pekerjaaan yang begitu cepat dapat dilihat hasilnya.
Perlu waktu yang lama untuk melihat hasil pelayanan bimbingan dan konseling
terutama pelayanan konseling individual yang betujuan untuk mengentaskan
masalah siswa dan mengembangkan potensinya serta perubahan tingkah laku pada
diri klien.
13) Menyamaratakan
cara pemecahan masalah bagi semua klien
Masalah klien
tidak bisa disamaratakan pemecahannya. Terkadang ada permasalahan yang dialami
sama namun setelah dikaji lebih dalam ternyata hakikatnya berbeda. Oleh karena
itu, teknik yang digunakan dalam konseling pun akan berbeda pula.
14) Memusatkan
usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan
konseling .
Instrumentasi
dalam BK hanyalah sebagai pembantu dalam menemukan permasalahan yang dihadapi
oleh siswa. Setelah penggunaan instrumentasi BK tersebut, konselor mendapatkan
data tentang pribadi individu dan dapat membantu dalam proses konseling yang
akan dilaksanakan.
15) Bimbingan
dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah ringan saja
Menetapkan
sesuatu masalah berat atau ringan tidaklah mudah. Suatu masalah mungkin
tampaknya ringan, tetapi setelah dikaji dan diungkapkan berbagai sangkut-pautnya
ternyata adalah berat.
2.
Pola
pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Zamroni & Rahardjo (2015)dalam jurnalnya menjelaskan bentuk miskonsepsi
terkait dengan pola pelayanan BK disekolah yang dijabarkan sebagai berikut.
Bimbingan dan
konseling memiliki konsep dan peran yang ideal, karena dengan berfungsinya
bimbingan dan konseling secara optimal semua kebutuhan dan permasalahan siswa
di sekolah akan dapat ditangani dengan baik. Suatu program pelayanan bimbingan
dan konseling di sekolah tidak mungkin akan tersusun, terselenggara dan
tercapai apabla tidak dikelola dalam suatu sistem manajemen yang bermutu.
Manajemen
bimbingan dan konseling yang terarah dan sistematis merupakan manifestasi dan
akumulasi pelayanan bimbingan dan konseling sehingga merupakan salah satu
indikator kerja konselor. Selanjutnya dengan manajemen bimbingan dan konseling
yang sistematis dan terarah yang baik pada gilirannya akan memberikan panduan
pelaksanaan kegiatan bimbingan konseling sekaligus menghilangkan kesan bahwa
konselor bekerja secara insidental dan bersifat kuratif semata-mata
Pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak
jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra
bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan
BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan
muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman,
persepsi negatif danmiskonsepsi berlarut-larut.
Masalah
menggejala di antaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap
semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang
insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang
sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus
aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat
dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja,
menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara
pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan
instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi
untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pelayanan
Bimbingan dan Konseling pada Jalur Pendidikan Dasar dan Menengah, memberikan
pandangan baru tentang arah manajemen bimbingan dan konseling. Diadopsinyya
pola pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif yang dipadu padankan dengan
pola 17 plus yang telah lama berjalan di lapangan membuat beberapa pihak gamang
untuk menjalankan “pola yang mana”. Dalam sebuah pertemuan ilmiah, Dewan
Pembina ABKIN Prof. Dr. Prayitno, M.Sc. Ed., menegaskan bahwa konselor di
lapangan tidak perlu bingung dan gamang mau menggunakan yang mana, yang
terpenting mana yangdikuasai dan paling sesuai dengan kondisi lapangan itulah
manajemen bimbingan dan konseling yang baik. Meskipun demikian, sebagai sebuah
upaya pembaharuan paradigma pelayanan bimbingan dan konseling, Permendikbud
Nomor 111 Tahun 2014 telah menggariskan pola layanan sebagai acuan pemberian
layanan dan administrasi bimbingan dan konseling di sekolah.
3.
Peranan
Konselor di Sekolah
Cahyono (2013)dalam jurnalnya menjelaskan bentuk miskonsepsi
terkait dengan pola pelayanan BK disekolah yang dijabarkan sebagai berikut.
Keberadaan
bimbingan dan konseling di sekolah hingga sekarang sudah berusia 50 tahun. Dan
banyak perubaha-perubahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bimbingan dan
konseling di sekolah. Sedangkan kenyataan di lapangan menyatakan bahwa
kebanyakan siswa menganggap keberadaan Bimbingan dan Konseling tidak
diperlukan. siswa lebih nyaman bercerita kepada teman sebaya jika ada masalah.
Dan selama ini siswa masih beranggapan bahwa konselor sekolah adalah polisi
sekolah. Karena masih banyak sekolah yang meletakkan konselor sebagai petugas
tatib, konselor ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut
disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang
menjadi label BK di banyak sekolah. Hal tersebut menyebabkan siswa enggan untuk
datang ke ruangan BK secara sukarela.
Hal tersebut
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prayitno dan Amti (2004) bahwa masih banyak
anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang
harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah.
Bahkan mungkin mereka mengira bahwa ketika seseorang masuk ke ruangan BK itu
dianggap mempunyai masalah serius disekolah, seperti anak yang nilai
akademiknya dibawah rata-rata, bermasalah dalam penampilan atau seragam
sekolah, cenderung anak yang badung, anak yang jarang masuk sekolah, dan
anggapan lainnya yang bernada negatif, sehingga otomatis adanya guru BK itu
dikenal sebagai orang yang berhak meluruskan anak- anak yang mempunyai perilaku
negatif, dan tidak dikenal sebagai sosok yang dapat membimbing serta melayani
anak didik dengan tanpa ada asumsi bahwa individu yang di bimbing itu melakukan
tindakan yang dianggap negatif. Maka mindsetmereka terhadap Bimbingan Konseling
cenderung negatif. Hal tersebut bisa mempengaruhi pada minat siswa dalam
memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Andriana, E., Djudin, T., & Arsyid, S. B. (2014).
Remediasi Miskonsepsi Pembiasan Cahaya pada Lensa Tipis Menggunakan Direct
Instruction Berbantuan Animasi Flash Sma. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, 3(1).
Bahri. 2008. Konsep dan DefinisiKonseptual. Jakarta: PTRajaGrafindo Persada.
Basuki, A. (2010). LANDASAN HISTORIS BIMBINGAN DAN KONSELING.
Berg, E. Van Den. (1991). Miskonsepsi fisika dan
remediasi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Cahyono, A. H. (2013). Hubungan antara Persepsi dan Sikap
Siswa terhadap Bimbingan dan Konseling dengan Minat Siswa untuk Memanfaatkan
Layanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal BK UNESA, 1(1).
Desiria, A. (2017). Analisis Miskonsepsi Materi
Asam-Basa Siswa SMA/MA dengan Menggunakan Instrumen Tes Diagnostik Two Tier(Bachelor's
thesis, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Hamalik, O. (2004). Proses belajar mengajar. Bumi
Aksara.
Lestari, P. A. S., Rahayu, S., & Hikmawati, H. (2017).
Profil Miskonsepsi Siswa Kelas X SMKN 4 Mataram pada Materi Pokok Suhu, Kalor,
dan Perpindahan Kalor. Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi, 1(3),
146-
Prayitno.
2004. PengembanganProfesional Guru Pembimbing
(Bahan Diklat), Jakarta: PPPG Keguruan Jakarta.
(Bahan Diklat), Jakarta: PPPG Keguruan Jakarta.
Prayitno.
(2013). “Integrasi Konseling Menyeluruh ke dalam Pendidikan”. Makalah disajikan
dalam Seminar Internasional KONSELING
MALINDO-3 di Universitas Muhammadiyah Magelang
Ridwan, R. (2011). Pengembangan Manajemen Jejaring Bimbingan
dan Konseling (MJBK) Berbasis Analisis Kebutuhan. Educatio, 6(1),
38-52.
Singarimbun, M., & Effendi, S. (1989). Metode Penelitian
Survei, LP3ES. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Suparno, P. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep
pendidikan fisika. Jakarta: PT. Grasindo.
Suryono, B. (2016). Public Trust dan Profesi BK Bermartabat
Menuju Karakter Konselor yang Dibutuhkan. Counsellia: Jurnal Bimbingan
dan Konseling, 2(1).
Willis,
Sofyan S. (2009). Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta
Zamroni, E., & Rahardjo, S. (2015). Manajemen Bimbingan
Dan Konseling Berbasis Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014. Jurnal Konseling
Gusjigang, 1(1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar